BBC, Serang – Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas adalah masalah global. Perempuan penyandang disabilitas terdiri dari 10 persen dari semua perempuan di seluruh dunia. Di negara- negara berpenghasilan rendah dan menengah, perempuan merupakan 75 persen dari semua orang penyandang disabilitas.

“Perempuan penyandang disabilitas lebih rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Wanita dan anak perempuan penyandang disabilitas menghadapi spektrum yang sama dari pelanggaran hak asasi manusia perempuan yang tidak disablitas. Perempuan penyandang disabilitas kerap menjadi korban kekerasan ditambah lagiisolasi sosial,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) provinsi Banten, Rabu, 22/3/2017.

Perempuan penyandang disabilitas cenderung memiliki keberhasilan yang lebih rendah dalam dunia pendidikan, keuangan, profesional, dan sosial dari perempuan secara umum dan laki-laki penyandang disabilitas.

“Sebuah penelitian di Inggris yang dilakukan oleh women’s aid memaparkan bahwa angka kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas dua kali lebih sering terjadi dibanding pada perempuan yang tidak disablitas. Satu dari empat perempuan di dunia mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi dua kali lipat terjadi pada perempuan penyandang disabilitas,” katanya.

Adapun berbagai kendala perlindungan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, kata Nina antara lain hambatan dari individu korban, tidak melawan tidak membela diri, tidak memahami situasi (kekerasan) yang dialami, tidak memahami akibat, tidak mengantisipasi menolak perlakuan yang sama, tidak ada respon emosi, tidak memahami hak yang dimiliki, hambatan hukum, tidak adanya saksi, kekurangan alat bukti, korban dianggap tidak konsisten dalam menceritakan teknologinya.

“Melihat kompleksnya penangan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang instabilitas, beberapa hal yang harus dilakukan yakni, penguatan hak hak perempuan dengan instabilitas, perlunyavmenguatkan para pendamping kasus kekerasab terhadap perempuan dengan instabilitas melalui perpektif dan keterampilan khusus berkomunikasi kepada korban peremouan penyandang disabilitas, advokasi aparat hukum, sosialisasi secara berkelanjutan kepada masyarakat agar menghargai dan turut menjaga agar perempuan dengan disbilitas terhindar dari kekerasan,” tuturnya.

Baca juga :  Tahun Ajaran Baru 2020/2021, Satgas TMMD Ajak Giat Edukasi Lapangan Kepada Siswa SDN Talagasari

Sedangkan upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas,  Nina mengatakan pada hakikatnya menjadi tanggungjawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga dan penyandang disabilitas itu sendiri. oleh karena itu diharapkan semua unsur tersebut berperan aktif untuk mewujudkannya sehingga para penyandang disabilitas dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi secara wajar dalam hidup bermasyarakat.

“Saya berharap dengan pertemuan ini dapat mendorong terbangunnya koordinasi dan integrasi antar lembaga dan OPD terkait menghasilkan suatu program mewujudkan perlindungan perempuan disbilitas dengan pendekatan responsif gender yaitu segalabuoaya yang dilakukan harus berbasis dari ketidakadilan gender, bebas dari diskriminasi, bebas dari marginalis, bebas dari subordinasi, bebas dari stereotif dan bebas dari kekerasan,” tandasnya. (1-1)