Oleh: Iin Solihin
Penulis Adalah Peneliti Lingkar Studi Demokrasi dan Pemilu (LSDP)

Proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia memiliki sistem paling efektif di dunia, jika negara Somalia, Afrika ingin tahu kandidat mana yang menang pemilu harus menunggu 20-30 hari setelah penghitungan suara berakhir. Sedangkan di Amerika Serikat dalam hitungan jam setelah pemilihan. Adapun di Indonesia, kandidat mana yang menang bisa diketahui sebelum pemilu digelar.

Pujian kecut satire di atas diungkapkan pakar teologi bernama Dr. G T Ng di acara bertajuk Presentation at the General Conference Annual Council 2019 pada 15 Oktober 2019, potongan video-nya tersebar di media pemberitaan, sekilas merangsang ingatan nakal kita pada pemilu di era Orde Baru, Soeharto bisa ditebak sudah pasti menang sebelum pemilu dimulai.

Terlebih Syamsuddin Haris (1998) laporkan dalam Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, peran Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) saat itu dinilai sekadar lembaga stempel yang melegitimasi pelanggaran. Wajar jika ingatan kita terkena sindrom trauma politik yang membekas terpatri persis di lagu Yunita Ababiel, trauma, ”keinginan ‘tuk bercinta sirna, keraguan s’lalu datang menyiksa”.

Pesan artikulatif fakta politik masa lalu mesti mafhum, proses pemilu di masa Orde Baru memiliki aturan privilege dua pasal sakti. Pasal pertama; Penguasa/pemimpin tidak akan pernah salah; Pasal kedua; Jika penguasa/pemimpin berbuat salah, kembali ke pasal satu.

Warisan trauma politik perlahan mulai terkikis seiring adanya transisi dan konsolidasi demokrasi. Kini mesin pemilu lebih baik dalam proses penerapan prinsip-prinsip pemilu demokratis melalui lembaga KPU, Bawaslu, DKPP menyajikan aturan tata kelola pemilu lebih transparan, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, bukan lagi isapan jempol, slogan formalitas demokrasi semata.

Baca juga :  Polda Banten Segera Gelar Operasi Yustisi Penegakan Prokes

Rekrutmen Pejuang Pemilu Syahdan, panggung kontestasi politik yang tahapannya saling beririsan Pemilu pada 14 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024 diselenggarakan secara serentak, sudah pasti memiliki beban kerja yang berat dengan tingkat kerumitan secara teknis elektoral dan non-elektoral akan menguras tenaga dan pikiran, bahkan menimbulkan kematian jika berkaca pada Pemilu 2019.

Mafhum dipahami, kontestasi politik sebagai arena pertarungan, para kandidat yang masuk gelanggang politik semuanya berkiblat ingin meraih kemenangan merebut simpatik publik agar bisa terpilih. Persaingan ketat, beradu siasat pasti berpotensi menghadirkan kegaduhan tak sehat, saling sikut, hingga tergoda ambil jalan pintas melibas aturan pemilu hingga berbuat kecurangan.

Ikhtiar mempersempit pelanggaran dan kecurangan, mesin Bawaslu sudah dipanaskan, ditandai keluar-nya surat sakti Ketua Bawaslu Nomor:314/HK.01.00/K1/09/2022 pada, 09 September 2022 yaitu Tentang Pedoman Pelaksanaan Pembentukan Panwaslu Kecamatan untuk Pemilu Serentak 2024, bahwa perekrutan Panwaslu Kecamatan berlangsung secara serentak di Indonesia, dimulai pada 21-27 September 2022.

Bawaslu berikhtiar, sosialisasi, strategi, taktik, kreatifitas, inovasi perekrutan Panwaslu Kecamatan melalui beragam kanal media sosial, penempelan pengumuman dilokasi strategis. Harapan besar, agar putra-putri terbaik bangsa, tentu yang memenuhi syarat saat mendaftarkan diri yang terpilih untuk bertugas mengawal, mewujudkan Pemilu demokratis, bermartabat dan berkualitas.
Sabda pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, tugas Panwaslu Kecamatan, secara substansi, yaitu untuk melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu mengajak perbuatan baik, mencegah perbuatan munkar yang sesuai kewenangannya di Pemilu, seperti melakukan pencegahan, penindakan, mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu, mencegah terjadinya praktik politik uang dan tugas lainnya.

Idealnya, Bawaslu tingkat kabupaten/kota dapat menggaransi integritas mereka yang terpilih mampu bekerja mandiri, profesional, mempu bekerja spenuh waktu dan menjaga marwah kelembagaan sesuai slogan “Bersama Bawaslu, Tegakan Keadilan Pemilu, Bersama Rakyat Awasli Pemilu”. Pemilu adalah milik seluruh rakyat Indonesia, maka partisipasi rakyat menentukan terciptanya pemilu demokratis dan berkualitas.

Baca juga :  PP Salurkan CSR Rp120 Juta Terhadap 10 Ponpes di Banten

Panwaslu Kecamatan yang terpilih adalah mereka memiliki prinsip (1) Kemandirian dan ketidakberpihakan; (2) Efisiensi; (3) Profesionalisme; (4) Penangan yang cepat terhadap pertikaian yang ada; (5) Stabil; dan (6) Transparansi (Idea, 2000), Catatan kelam Bawaslu RI (2018), Indek Kerawanan Pemilu (IKP); Pertama: Rendahnya integritas, profesionalitas, penyelenggara Pemilu tidak mampu menjaga netralitas dan penyalahgunaan wewenang. Kedua, tumbuh suburnya model kampanye hitam, politisasi SARA, dan politik uang.Ketiga, rendahnya partisipasi masyarakat, hak pilih yang tidak dipakai, politisasi identitas dan politisasi tokoh agama oleh para kontestan untuk mendulang suara berpotensi memicu konflik di akar rumput.