BBC, Serang – Buku  berjudul ‘Kearifan Baduy Melawan Korupsi’ karya H Khatib Mansur dan Hj Rihatul Mahmudah dari penerbit SengPho Utama di Banten, siap meramaikan  Indonesia International Book Fair (IIBF) di Assembly Hall Jakarta Convention Center tanggal 28 September sampai 2 Oktober 2016.
“Buku ”Kerifan Baduy Melawan Korupsi” merupakan buku terbaru kami dan akan diluncurkan pada Rabu (28/9) di JCC Jakarta. Peluncuran buku tersebut dilakukan secara masal dalam rangkaian Indonesia International Book Fair 2016,”kata Khatib Mansur saat ‘soft launching’ buku tersebut di Serang, Senin, 26/9/2016.
Khatib mengatakan, buku -buku yang akan dilaunching di JCC tersebut sebagian besar bertema pencegahan korupsi yang dibuat oleh para peserta workshop “Indonesia Membumi” (Menggas dan Menerbitkan buku melawan korupsi) yang diikuti oleh 48 penerbit dari ribuan penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) atas kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Saya salah satu dari peserta ‘workshop’ Indonesia Membumi. Dari hasil workshop itu semua peserta diminta berkontribusi menulis buku bacaan bertema pencegahan korupsi,”kata Khotib.
Khatib mengatakan, judul mengenai ‘Kearifan Baduy Melawan Korupsi’ sengaja diangkat karena dari aspek budaya, eksistensi masyarakat adat baduy di Kabupaten Lebak adalah yang paling menarik ditampilkan ditengah ramainya kasus korupsi akhir-akhir ini. Sekaligus sebagai cermin integritas karena masyarakat baduy memiliki sikap mental yang kuat, disamping ketaatan mereka kepada adat leluhurnya yang sangat kuat.
”Mereka hidup ratusan tahun di hutan bisa bertahan bahkan menjadi kreatif dan santun. Sedangkan kita yang disebut modern justeru lebih mementingkan diri sendiri dan tidak menghargai alam, bahkan kasusu korupsi hampir merata. Secara moral, kita malu kepada waga Baduy,”kata Khatib Mansur didampingi tokoh masyarakat Banten kelahiran Citorek Kabupaten Lebak, Sumawijaya.
Menurutunya, masyarakat baduy hidup dalam ketaatan terhadap hukum adat yang berpusat di Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana. Artefak atau benda bersejarah yang masih bertahan sejak ratusan tahun hingga saat ini antara lain, masih kokohnya simbol lingkaran yang ada di setiap atap rumah adat baduy pedalaman, yang memiliki makna filosofi konsisiten terhadap hukum ada yang sudah digariskan Puun (pimpinan adat) secara turun-temurun.
”Dalam buku itu juga memuat hasil ‘pooling’ pimpinan daerah se-Banten tentang pencegahan korupsi. Tujuannyya selain memperkaya pendapat pimpinan daerah di Banten tentang pengertian korupsi dan upaya pencegahannya, juga untuk ‘melawan lupa’ karena pimpinan daerah di Banten sudah menandatangani komitmen bersama dengan KPK untuk pencegahan korupsi,” katanya.
Salah seorang tokoh masyarakat Citorek di Kabupaten Lebak yang juga masih merupakan kawasan masyarakat adat baduy, Sumawijaya mengatakan, masyarakat Banten dan umumnya masyarakat Indonesia harus bisa meniru masyarakat Baduy dari sisi kearifan lokalnya, kesederhanaan hidup dan interaksi masyaratnya dengan alam. Sehingga dengan hidup sederhana seperti masyarakat baduy, tidak akan mendorong pada nafsu keduniawian, hedonisme, hidup berpoya-poya, apalagi sampai pada akhirnya bisa mendorong pada tindakan korupsi.

Baca juga :  Perpusnas Serahkan Sertipikat Akreditasi Perpustakaan Sekolah ke Puluhan Sekolah di Kabupaten Serang

“Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kehidupan masyarakat Baduy. Diantara kearifan masyarakat baduy yang dipegang teguh sampai saat ini, ‘mipit kudu amit (metik harus ijin), ngala kudu menta (mengambil harus minta), moal mibanda pangaboga anu lian (tidak akan mengambil barang milik orang lain),”kata Sumawijaya yang juga sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten. (1-1)